Dalam bahasa arab zakat ini disebut dengan zakatu kasb al-amal wa al-mihan al- hurrah (زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمـهَنِ الحُرَّةِ), atau zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas.
Ini termasuk zakat baru. Dikatakan baru karena memang istilah zakat ini tidak dikenal pada zaman Rasul SAW. Dalam dunia Islam zakat ini lebih dikenal oleh muslim dunia setelah Dr. Yusuf Al-Qardhawi menuliskan dalam desertasi beliau ketika meyelesaikan program doktoralnya di Al-Azhar University.
Sedang di Indonesia, kita mengenal sosok Dr. Didin Hafidudin yang sangat gentol mendakwahkan tentang adanya kewajiban zakat profesi.
Karena termasuk dalam katagori zakat baru, kira bagaimana tinjauannya dalam fiqihnya? Apakah memang ada? Atau tidak ada? Terus jika tidak ada solusinya apa?
Perdebatan Ulama
Inilah permasalahannya, sejak 14 abad yang lalu Rasulullah SAW dan para sahabat tidak pernah membahs tentang adanya zakat profesi. Untuk itulah dalam hal zakat profesi ini para ulama terbagi ke dalam dua kelompok besar:
Kelompok Penentang
Zakat itu ibadah, dan bahkan ia masuk dalam Rukun Islam yang lima. Dan ibadah itu pada dasarnya ada ketika ada perintahnya dan Rasul SAW mencohkannya. Dan inilah permasalahnnya, sejak 14 abad yang lalu Rasul SAW dan para sahabatnya tidak pernah berbicara tentang adanya zakat seperti ini.
Dan bahkan ulama-ulama empat mazhab pun sepertinya tidak pernah membahas masalah zakat dengan jenis seperti ini, padahal sejak dulu masyarakat dunia sudah mengenal istilah profesi, dan bahkan mereka dulu sudah ada yang berprofesi sebagai dokter, karyawan, dan lain sebagainya.
Belum lagi adanya kerancuan dalam zakat ini, dimana waktu pengeluaranya tidak mensyaratkan sampainya satu tahun, padahal jelas-jelas sampainya satu tahun bagian dari syarat wajib mengeluarkan zakat, artinya jika harta yang ada dengan kita umurnya belum sampai satu tahun tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya.
Belum lagi banyaknya terjadi perdebatan bagi mereka yang mendukung adanya zakat ini. Masalah sumbernya misalnya, apakah harta itu adalah harta kotor atau harta bersih yang dikeluarkan zakatnya.
Masalah nishanya, jika memang ada kira-kira nishbanya berapa?? Jika memang memakai nishab pertanian berarti jumlah lebih kurang 520 kg. dan ternyata dari sini juga ada perbedaan, 520 kg gabah atau beras?
Masalah jumlah zakat yang harus dikeluarkan berapa? Apakah 5 % atau 10% sesuai dengan ketentuan zakat pertanian, atau jumlahnya 2,5% disesuaikan dengan zakat harta. Tapi jika nishabnya nishab tanaman mengapa aturan pengeluarannya malah menyesuaikan dengan aturan pada zakat harta?
Masalah waktu pengeluarannya juga dipermasalahkan, kapan waktu pengeluarannya? Aakah setiap bulan, atau tiga kali setahun dengan asumsi bahwa panennya para petani itu biasanya tiga kali setahun, atau mengeluarkannya harus satu tahun dulu?
Inilah permasalahan-permasalahan yang membuat kelompok ini meyakini bahwa zakat profesi itu tidak ada dalam islam. Toh kalupun mau mengeluarkan sebagian harta dari penghasilan tersebut bisa dengan jalan infaq, shadaqoh, bukan dengan nama zakat.
Dizaman sekarang Dr. Wahbah Zuhaili juga mengutarakan pendapatnya bahwa tidak ada zakat profesi dalam Islam.
Kelompok Pendukung
Para ulama yang mendukung adanya zakat profesi ini tentunya tidak asbun (asal bunyi) saja, mereka adalah para ulama yang tidak diragukan lagi kualitas keilmuannya. Pendapat mereka juga bisa dipertanggung jawabkan. Diantara dalil-dalil pendukung zakat ini adalah:
1. Keumuman Dalil Al-Qur'an Berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"(QS. Al-Baqarah: 267)
- Qiyas Dengan Zakat Hasil Bumi
"dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)" (QS. Al-An'am: 141)
Zakat tanaman itu ternyata tidak mensyaratkan harus sampai satu tahun, jika sudah panen maka zakatnya harus dikeluarkan, pun begitu bagi para professional, jika sudah panen dalam hal ini gajian maka mereka juga harus menunaikan hak dari mendapatkan gaji tersebut.
- Perubahan Standarisasi Kekayaan
Secara umum kewajiban zakat itu dibebankan kepada orang kaya, dan mereka yang tergolong miskin tidak dikenakan kewajiban zakat sama sekali. Rasul SAW bersabda:
تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلىَ فُقَرَائِهِمْ
"Harta zakat itu diambil dari mereka yang kaya dan diperuntukkan untuk orang-orang yang faqir" (HR. Bukhari).
Dulunya mereka yang kaya itu rata-rata adalah para petani, pemilik kebun, sawah dan ladang. Biasanya mereka banyak mendapatkan harta dari hasil bumi, untuk itulah mereka wajib memberikan zakatnya atas harta yang merek dapatkan.
Dan sekarang sepertinya standar orang kaya itu tidak hanya bagi mereka yang punya banyak kebun saja, bahkan terkadang malah sebaliknya, para petani kita sekarang ini malah tergolong miskin. Dan yang kaya sekarang itu adalah mereka yang bekerja bukan dari bidang pertanian, akan tetapi justru dari kalangan professional seperti dokter, guru, dosen, direktur, karyawan, pengacara, dll.
- Rasa Keadilan
Atas dasar itulah timbul rasanya ketidak adilan, masa' iya mereka yang pendapatannya kecil (tani misalnya) dikenakan zakat, sedangkan mereka yang kerjanya tidak terlalu capek (profesi) dan pendapatannya lebih besar malah tidak dikenakan kewajiban zakat?
Dr. Yusuf Al-Qardhowi adalah salah satu ulama sekarang yang mendukung adanya zakat profesi ini, dan di Indonesia kita mengenal sosok Dr. Din Hafidudin yang gentol mendakwahkan adanya zakat profesi. Walaupun antara Yusuf Al-Qardhawi dan Didin Hafidudin terkadang ada perbedaan dalam detail masalah zakat ini.
Nishab Zakat Profesi
Mengenai berapa nishab zakat profesi, para ulama yang mendukung zakat ini juga berbeda pendapat. Bagi mereka yang mengqiyaskan zakat tersebut ke jenis zakat pertanian, maka nishabnya adalah lima wasaq (-+520 kg). Namun bagi mereka yang mengqiyaskannya dengan zakat emas, maka nishabnya adalah 85g emas.
Namun masyhurnya di negri kita ini sering diqiyaskan dengan zakat pertann, sehingga nishabnya adalah 520 kg beras.
Besaran yang Harus Dikeluarkan
Disini juga perdebatannya, tergantung dengan qiyasnya dengan zakat apa? Jika dengan zakat pertanian seharusnya zakatnya adalah 5% atau 10% tergantng dengan jenis pertaniannya diirigasi atau hanya tadah hujan.
Dan jika kit qiyaskan dengan zakat emas, maka otomatis besaran zakatnya adalah 2,5%.
Namun umumnya di negri kita yang dipakai adalah 2,5 %. Seakan-akan kita mengqiyaskan dengan dua jenis zakat sekaligus. Nishbnya diambil dari zakat pertanian, dan besarannya diambil dari zakat emas.
Dan inilah ribetnya, seakan-akan rancu dan kurang jelas jadinya. Untuk itu pihak yang menentang adanya zakat profesi akan mengatakan bahwa jika memang zakat ini ada, kenapa dalam urusan nishab dan besara yang harus dikeluarkan terjadi perbedaan yang jelas seperti ini.
Dari Pendapat Bersih Apa Kotor?
Ini juga perdebatan dikalangan yang mendukung adanya zakat ini, kapan kita mngeluarkannya? Namun Al-Qardhowi memberikan jalan tengah, jika penghasilan kita besar, sedang kebutuhan hidup kita tidak terlalu banyak, baiknya mengeluarkan dari pendapatan yang kotor, dan dikeluarkannya perbulan. Akan tetapi jika penghasilan kita standar, dan kebutuhan hidup kita banyak, maka kita bisa mengeluarkannya dari pendapat yang bersih, dan boleh mengakhirkannya samapi satu tahun.
Perbulan atau Pertiga Bulan atau Pertahun atau Bagaimana?
Semua boleh dilakukan, walaupun yang masyhur dinegri kita adalah perbulan. Artinya jika penghasilan perbulan kita samapai seharga 520 kg beras, maka kita sudah diwajibkan untuk mengeluarkan zakat profesi sebesar 2,5% dari harta tersebut.
Atau jika kebutuhan kita banyak kita boleh memotong pendapatn itu untuk kebutuhan mendasar kita (makan dan minum) baru kemudian dikumpulkan hingga akhir tahun baru dikeluarkan.
Atau jika mau mengeluarkannya per tiga bulan atau per empat bulan, dengan alasan bahwa standar panen petani seperti itu, maka itu juga tidak ada masalahnya. Karena memang zakat seperti ini tidak ada tuntunan khususnya. Tidak ada aturan khusunya yang Rasul SAW jelaskan kepada kita selaku ummatnya.
Hanya saja para ulama dengan metode qiyas memberikan penjelasannya kepada kita tentag kewajiban zakat ini, walaupun disana-disini banyak terjadi ketidak jelasan.
Kalau Tidak Wajib Solusinya?
Tentu saja bagi mereka yang tidak mewajibkan zakat ini tidak serta merta diam begitu saja, mereka tetap mendorong kita untuk mengeluarkan sebagian dari pendapat kita tersebut. Hanya saja bukan atas nama zakat, tapi atas nama yang lainnya; Infaq, shodaqoh, waqaf, hadiyah, dll.
Dengan pemilik harta tetap mendapat kebaikan dari harta yang dia miliki, dan dengan begitu keberkahan dari harta yag didapat akan semakin mendekat.
Wallahu A'lam Bisshowab
M. Saiyid Mahadhir
Posting Komentar