Siapa Yang Paling Berhak Jadi Imam?

            Perkara sholat adalah perkara besar yang harus diperhatikan. Ia adalah rukun ke dua dari Rukun Islam yang sudah disepakati bersama oleh seluruh kaum muslimin.  

            Kewajibannya diterima langsung oleh Rosul SAW tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Awalnya 50 roka'at, namun akhirnya menjadi 5 roka'at saja. Akan tetapi ia setara dengan  50 roka'at.

            Dikerjakan berjamah akan lebih bagus, karena pahalanya sangat berlipat, mulai dari 27 derajat sampai tak terhingga. Maka merugilah kiranya jika sholat itu 'selalu' dierjakan sendirian. 

            Dalam berjama'ah kita akan sedikit di hadapkan kepada sebuah pertanyaan besar, siapa yang lebih berhak untuk menjadi imam? Apa kriterianya? Karena menjadi imam bukanlah perkara kecil. 

Imam itu pemimpin, pemimpin bagi makmum yang ikut sholat dibelakangnya. Imam itu pemimpin kita dalam urusan akhirat, jika dalam urusan dunia saja kita butuh pemimpin yang 'bagus' maka sudah barang tentu dalam memilih imam untuk urusan akhirat kita harus lebih 'ngeh' lagi.

Atau jangan sampai malah setiap kita merasa berhak menjadi imam, lalu dengan 'pede'nya melangkah kedepan mencalonkan diri untuk diakui sebagai imam Musholla, dan akhirnya terjadilah apa yang terjadi, memilukan dan memalukan. 

Dalam perkara imam para ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak untuk menjadi imam, setidaknya terbagi kedalam dua pendapat besar:

Orang Yang Paling Bagus dan Banyak Hafalan Al-Qur'an

Menurut pendapat ini, jumlah kualitas bacaan dan hafalan Al-Qur'an menjadi standar pertama dan paling utama dalam perkara siapa yang paling berhak menjadi imam. Semakin bagus dan banyak hafalannya semakin ia yang diutamakan.  Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad.

Berbeda sekali dengan apa yang diyakini oleh sebagian masyarakat kita Indonesia, yang rata-rata mensyaratkan umur, semakin tu semakin berhak menjadi imam. 

Atau ada lagi pemahaman yang mensyaratkan bahwa yang berhak menjadi imam itu adalah mereka yang sudah menikah, seakan meragukan kepemimpinan mereka yang masih bujangan. Sehingga walau bagaimanapun mereka yang sudah berumur seakan tidak mau 'terkalahkan' dengan kehadiran mereka yag masih muda.

Orang Yang Paling Faham Fiqih

            Pendapat kedua adalah pendapat yang menyatakan bahwa standar utama itu bukan mereka yang paling bagus dan banyak hafalan Al-Qur'annya, akan tetapi standarnya adalah yang paling faham tentang urusan fiqih, semua fiqih, terutama tentang fiqih sholat itu sendiri.

            Mengingat bahwa pemahaman tentang urusan sholat itu lebih diutamakan dalam prakteknya dari pada kebutuhan hafalan. Anggap saja bahwa mereka sholat hanya membaca Al-Fatihah, Al-Kafirun dan Al-Ikhlash, walau hanya punya hafalan tiga surat itu saja sholat tetap sah jika rukun serta semua hal perkara shoat lainnya sempurna dikerjakan. Dan kesempurnaan rukun itu tidak akan tercapai kecuali jika sang imam faham fiqih sholat.

            Belum lagi kebutuhan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan imam jika tanpa sengaja misalnya salah dalam sholatnya? Apakah harus mengulang sholat, atau cukup hanya dengan sujud sahwi? Lalu bagaimana pula cara mengulang sholat bukan dari awalnya? Atau bagaimana pula cara sujud sahwi? Apa sebab-sebabnya? 

            Fiqih realitanya juga perlu, sehingga diharapkan dengan kehadiran imam tersebut tidak malah membuat masyarakat tidak nyaman. Masyarakat yang rata-rata jika sholat memakai mazhab Syafi'I tentunya akan lebih nyaman ketika sang imam juga mengimami dengan fiqih Syafi'I, begitu seterusnya.

            Masalah cara berpakaian imampun sangat diperhatikan oleh masyarakat. Kita orang Indonesia yang umumnya jika sholat memakai peci, dan rasanya 'kuang enak' jika imam yang mengimami tidak mekai peci disa'at makmum yang dibekangnya sudah sangat rapi dengan sarung dan pecinya.

            Sehingga jangan sampai ada kejadian lagi bahwa ada imam yang 'dintrogasi' oleh masyarakat lantaran mengimami bukan dengan mazhab Syafi'I, juga lantaran cara berpakainnya yang paling beda, seakan dia bukan orang Indonesia.   

            Berangkat dari pemikiran seperi inilah Imam Malik serta Imam Syafi'I berpendapat bahwa standar utama dan yang paling utama bagi imam itu adalah mereka yang paling faham tentang urusan fiqih.

Dalilnya?

            Kedua pendapat diatas sama-sama berlandaskan kepada hadits Nabi SAW berikut:

 يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوْا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوْا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ 

"Yang berhak menjadi imam atas suatu kaum adalah yang paling menguasai bacaan kitabullah (Alquran), jika dalam bacaan kapasitasnya sama, maka yang paling tahu terhadap sunnah, jika dalam as sunnah (hadits) kapasitasnya sama, maka yang paling dahulu hijrah, jika dalam hijrah sama, maka yang pertama-tama masuk Islam, dan janganlah seseorang mengimami seseorang di daerah wewenang orang itu, dan jangan duduk di rumah seseorang di ruang tamunya, kecuali telah mendapatkan izin darinya" ( HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'I dan lainnya)

     Dalam menyikapi hadits diatas ada yang memahami secara tekstual saja, memahaminya sesuai dengan yang tersurat dalam hadits itu,  sehingga kata 'Al-Aqro' pada hadits diatas diartikan secara teks, yaitu orang yang paling bagus dan paling banyak hafalan Al-Qur'annya, dan ini yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifan dan Imam Ahmad.

          Berbeda lagi bagi mereka yang memahaminya secara makna 'tersirat'. Maka 'Al-Aqro' pada hadits mengindikasikan mereka yag faham fiqih. Dan ini yang dilakukan oleh Imam Malik dan Syafi'i.

        Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kedua pendapat tersebut, karena pada dasarnya, dulunya mereka yang bagus bacaan Al-Qur'annya itu adalah mereka faling faham fiqihnya, pun begitu sebailknya, mereka yang bagus fiqihnya bagus juga bacaan dan hafalan Al-Qur'annya.

     Akan tetapi sekarang kita lebih membutuhkan yang mana? Melihat bahwa kenyataannya mereka yang bagus serta punya banyak hafalan Al-Qurannya tidak selamanya mereka juga faham fiqih, pun begitu sebaliknya sekarang ini, mereka yang faham fiqih tidak selamanya punya bacaan bagus dan banyak hafalannya.

Pilih mana? Yang bagus bacaan dan hafalan Al-Qur'annya, atau yang paling faham tentang urusan fiqih? Yang jelas mereka yang mempunyai keduanya sangat kita tunggu kehadirannya. 

Wallahu A'lam Bisshowab
M. Saiyid Mahadhir
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Saiyid Mahadhir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger