Para ulama sering mengungkap bahwa aqiqah itu berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan ada juga yang mengatakan bahwa aqiqah merupakan rambut yang dibawa si bayi ketika lahir.
Akan tetapi secara istilah syar'i aqiqah berarti:
مَا يُذَكَّى عَنِ الْمَوْلُودِ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى بِنِيَّةٍ وَشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ
"Hewan yang disembelih untuk anak yang dilahirkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat-syarat tertentu"
Akan tetapi para ulama tidak satu kata dalam memberikan status hukum dasar dari aqiqah itu sendiri, ada yang berpendapat hukumnya adalah wajib, ada juga yang hanya menghukuminya dengan sunnah muakkadah, dan ada juga yang berpendapat bahwa hukumnya mubah (boleh-boleh saja).
Wajib
Bagi mereka yang berpendapat bahwa hukum aqiqah itu wajib dengan berlandaskan dalil-dalil berikut:
الْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh".(HR. Tirmizy)
Dalam riwayat yang lain ada tambahan :
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, lalu digunduli dan diberi nama (HR. Abu Daud)
Tidak ada kata yang tertulis secara terusurat bahwa hukumnya wajib pada hadits diatas, namun secara tersirat kedua hadits itu mengindikasikan kearah sana (wajib). Juga ditambah dengan hadits-hadits yang memerintahkan hal itu, karena bagi mereka setiap perintah itu adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.
Mereka yang berpendapat bahwa hukum aqiqah ini wajib adalah para ulama dari kalangan mazhab Zhohiri, diatara tokohnya adalah Daud Adz-Dzahiri dan Ibnu Hazm.
Sunnah Mu'akkadah
Hukum sunnah muakkadah dilandaskan atas dali-dalil berikut:
عَقَّ رسول الله r عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ كَبْشاً كَبْشاً
"Rasulullah SAW menyembelihkan untuk Hasan dan Husain masing-masing satu ekor kambing kibas". (HR. Bukhari)
مَعَ الغُلاَمِ عَقِيْقَة فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَماً وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
"Sesungguhnya bersama anak itu ada hak diakikahi, maka tumpahkanlah darah baginya (dengan menyembelih hewan) dan buanglah penyakit darinya (dengan mencukur rambutnya)" (HR Bukhari)
عَنْ عاَئِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : أَمَرَناَ رَسُولُ اللهِ r أَنْ نَعُقَّ عَنِ الجاَرِيَةِ شَاةٌ وَعَنِ الغُلاَمِ شَاتَيْنِ
"Dari Asiyah radhiyallahuanha berkata,"Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menyembelih untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor" (HR. Tirmizy)
Tentunya didukung dengan dengan dalil-dalil yang lainnya, hanya saja dalil-dalil perintah aqiqah itu diikat dengan dalil berikut:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
"Orang yang mendapat kelahiran bayi dan ingin menyembelih silahkan melakukannya. Buat anak laki-laki dua ekor dan buat anak perempuan satu ekor. (HR. Abu Daud)
Dalam bahasa ushul fiqih ini disebut dengan qorinah, ia semacam sinyalemen yang bisa dijadikan landasan untuk beralih kepada sunnah atau lainnya, setelah sebelumya disepakati bahwa setiap perintah yag mutlak itu bersifat wajib.
Pendapat ini dipelopori oleh para ulama dari mazhab Syafi'i dan Hambali. Walau dalam mazhab Maliki mereka berpendapat bahwa hukumnya memang tidak wajib, namun tidak juga sunnah muakkadah, melainkan derajatnya dibawah sunnah sunnah muakkadah, mereka meyebutnya mandub (yang disukai)
Mubah
Mubah artinya dikerjakan tidak apa-apa dan ditinggalkan juga tidak apa-apa. Jadi pendapat yang terkhir ini lebih menilai bahwa ritual aqiqah itu sifatnya boleh-boleh saja, dikerjkan boleh, tidak dilakukan juga boleh, derajatnya sama saja. tidak lebih, Yang demikian adalah pendapat Imam Abu Hanifah.
Para ulama yang berpendapat seperti ini menilai bahwa semua dalil-dalil yang dipakai dalam masalah aqiqah ini sudah dihapus keberlakuannya (di nasakh) denga turunya syari'at qurban.
Terlebih kita akan mendapat sebuah atsar dari Aisyah ra. yang pernah berkata:
نَسَخَتِ الأُضْحِيَّةُ كُلَّ ذَبْحٍ كاَنَ قَبْلَهَا
"Pensyariatan penyembelihan hewan udhiyah telah menghapus semua bentuk syarait penyembelihan yang sudah ada sebelumnya"
Demikianlah hasilnya, tidak usah risau dengan yang seperti ini, karena pada dasaranya apa yang dikatakan oleh para ulama diatas semuanya berlandaskan. Maka tugas kita seterusnya adalah belajar dan terus belajar. Belajar mengetahui bagaima mereka bisa sampai kepada kesimpulan masing-masing seperti itu.
Adapun masalah pilihan diserahkan kepada masing-masing, dan baiknya pilihanya tetap berdasarkan dalil, bukannya hanya semaunya saja, sehingga terkesan setiap pilihan kita hanya mengambil yang enaknya saja.
Wallahu A'lam Bisshowab
M. Saiyid Mahadhir
Posting Komentar