Pornografi dan Porno Aksi Dalam Penjelasan Al-Qur’an


Perhatikan ayat berikut:

 الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takw dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.  (QS. Al-Baqoroh: 197)

            Mengomentari kata rofats pada ayat diatas, Imam al-Qurthubi menukil pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Jubair, as-Suddi, Qotadah, al-Hasan, Ikrimah, az-Zuhri, dan Malik menjelaskan ia berarti jima,’[1] namun dilain pihak ar-Rozi dengan menukil pendapat al-Hasan memaknainya dengan segala hal yang mengarah kepada perilaku jima’[2]

            Pada dasarnya  rafats dengan lisan, semua perkataan yang bermuatan sex dengan maksud menimbulkan hasrat sex, atau cerita-cerita sex yang bukan ada tempatnya. Rafats dengan tangan yaitu perilaku memegang, menyentuh, menggambar yang berhubungan dengan sex, adapun rafats dengan kemaluan dalam jima’(Hubungan suami istri)[3]

            Dengan pemaknaan rafats sebagai jimak tangan sudah mencakup wilayah pornografi dan pornoaksi. Dalam wilayah pornografi, baik itu berupa tulisan, gambar, ataupun seni yang lain berawal dari tangan. Ketika hal tersebut mengarah kepada birahi maka itu sudah termasuk jima’ tangan. Begitu juga termasuk pornoaksi yang digambarkan dengan tarian striptease, yang telah ditandai dengan gerakan menanggalkan pakaian satu persatu yang tentunya juga memakai tangan. Dengan kata lain bahwa rafats dapat dimaknai sebagai pornografi dan pornoaksi. Walaupun rafats tidak dapat disama-dengankan dengan pornografi dan pornoaksi.

            Permasalahan ini erat kaitannya dengan pembicaran tentang aurat. Al-Ashfani menuliskan bahwa dalam bahasa arab aurat itu berarti celah yang kosong,baik itu berupa tempat sobekan kain maupun celah rumah yang tidak tertutup. Hal ini bisa dimaknai dari ayat QS. Al-Ahzab: 8[4]. Namun dalam memaknai aurat pada QS. An-Nur: 31 dan 58 ulama’ tafsir memaknainya dengan anggota tubuh manusia yang malu untuk diperlihatkan[5].

            Untuk itu al-Qur’an memerintahkan mereka untuk menutupinya dan tidak memperlihatkan perhiasan mereka didepan laki-laki lain yang bukan mahromnya.  Memang dalam permasalahan aurat, laki-laki lebih ringan tanggung jawabnya ketimbang perempuan, akan tetapi laki-laki dituntut lebih dalam hal menjaga pandangan. Simaklah firman Allah SWT berikut:

 قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".  Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’’(QS. An-Nur: 30-31)

            Huruf min paa ayat 30 diatas menunjuk makna sebagian, (للتبعيض)[6], jadi keharusan menundukkan pandangan itu hanya pada tempat dan kondisi  terntetu, karena pada dasarnya memandang itu boleh, kecuali yang telah dilarang oleh Allah SWT Beda dengan perihal farj (kelamin), Allah mengungkapnya dengan kalimat “jagalah”, karena pada dasarnya hokum asal perihal farj itu haram kecuali apa yang sudah Allah halalkan lewat pernikahan. Adapun perintah untuk menjaga pandangan didahulukan oleh Allah SWT dari menjaga farj, karena pandangan merupakan pintu gerbang dari zina[7].

            Perempun memang dituntut sedikit lebih berat dari laki-laki dalam hal menjaga dan menutupi aurat, setidaknya inilah bentuk penjagaan Allah terhadap perempuan. Kata zinah pada ayat 31 diatas menunjuk makna perhiasan,namun az-Zuhaili lebih menekankan pada tempat dimana perhiasan itu dipakai[8], karena pada dasarnya Allah tidak melarang perhiasannya, yang Allah larang adalah menampakkan anggota badan dimana perhiasan itu dipakai.

            Jadi hampir semua tempat perhiasaan itu dilarang untuk ditampakkan, semisal telinga, leher, dada, tangan, dan betis. Namun al-Qur’an memberikan pengecualian bagian tubuh perempuan yang boleh tampak, ia adalah muka dan kedua telapak tangan, yang demikian menurut Az-Zuhail adalah pendapat mayoritas Ulama’[9], dengan dikuatkan oleh hadits dimana Rosul SAW. nenegur Asma’ binti Abi Bakr yang pada waktu terlihat memakai pakain yang tipis dengan ungkapan:

 يا أسماء، إن المرأة إذا بلغت المحيض، لم يصلح أن يرى منها إلا هذا

 “Wahai Asma’, perepuan itu jika sudah samapai umurnya, maka tidak ada yang boleh terlihat dari anggota tubuhnya kecuali ini (lalu ROauls SAW menunjuk muka dan kedua telapak tangan)” 

            Hal demikian karena Allah tidak menginginkan perempuan itu menampakkan apa yang semestinya mereka tutup dari anggota badan mereka, karena yang dekina merupakan tradsisi jahiliyah, dalam al-Qur’an istilah ini disebut dengan tabarruj. Perhatikan ayat berikut:

 وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

  “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”(QS. Al-Ahzab: 33)

            Kata tabarruj menunjuk arti menampakkan perhiasan dan atau anggota tubuh perempuan yang harus ditutupi di hadapan laki-laki yang bukan mahromnya, semisal menggunan jilbab (penutup kepala) dan tidak mengikatya, sehingga darinya terlihat dadanya, lehernya, perhiasan yang ada di lehernya, dll[10]. An-Nasfi menambahkan, melenggak-lenggokkan cara berjalan juga (dengan sengaja) juga bagian dari tabarruj.[11]

            Al-Maududi menambahkan, bahwa tabarruj itu ketika[12]: 1) Menampkkan keelokan tubuh yang bisa membangkitkan syahwat didepan laki-laki yang bukan mahromnya. 2) Bersolek dan menggunakan farfum secara berlebihan ketika keluar rumah. 3) Melantunkan suara-suara yang menggoda.

            Ayat diats memang secara redaksi tertuju kepada istri-istri nabi, namun az-Zuhaii mengeskan bahwa yang demikan juga berlaku bagi semua perempuan di bumi.[13] Begitu juga tegas Ibnu Katsir.[14]

            Perhatian Islam ini betujuan agar tubuh manusia tidak dieksploitasi terutama tindak pornografi dan pornoaksi, yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Tenju saja dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat, aurat disini adalah aurat dalam menurut syari’at Islam.

Dan dalam waktu yang bersamaan, Allah juga melarang untuk melihat semua bentuk pornografi dan pornoaksi, kecuali untuk tujuan-tujuan yang dibenarkan (semisal pengobatan medis), karena yang demikian bisa menyebabkan pelakunya terjebak kedalam perilaku asusila (Fahsya’). Untuk itu Allah berfirman:

 وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا      
 “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isro’: 32)

            Ibnu Katsir menjelaskan yang dimaksud dengan “wala aqrobu” pada ayat diatas adalah jangan mendekati sebab-sebab yang bisa menjerumuskan pelakunya kepada perilaku zina[15]

            Untuk itu tidak berlebihan, jika Majlis Ulama’ Indonesia, semenjak tahun 2001 yang silam sudah mengeluakan fatwa berikut, fatwa nomor 287, sebagai penegas dari apa yang sudah penulis jelaskan diatas[16]:

1.      Melakukan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah (zina) adalah haram.

2.      Berbuat intim, berdua-duan, dan perbuatan sejenis lainnya yang mendekati dan/atau mendorong melakukan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah, antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam pernikahan yang sah adalah haram.

3.      Memperlihatkan aurat, yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi laki-laki dan bagian tubuh selain muka, telapak tangan, dan telapak kaki bagi perempuan adalah haram.

4.      Memakai pakaian ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh bagi perempuan, di hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya adalah haram.

5.      Menggunakan kosmetika yang dapat membangkitkan nafsu birahi laki-laki yang bukan suaminya, bagi perempuan, adalah haram.

6.      Menggambarkan, secara langsung atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, tulisan, suara maupun ucapan yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah haram.

7.      Melakukan suatu perbuatan dan/atau suatu ucapan yang dapat mendorong terjadinya perbuatan sebagaimana dimaksud angka 1 dan 2 adalah haram.

8.      Membiarkan diri yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat sebagaimana dimaksud angka 3 untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak atau divisualisasikan, dan gambarnya tersebut akan diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan suaminya adalah haram.

9.      Melakukan pengambilan gambar sebagaimana dimaksud angka 8 adalah haram

10.  Melakukan hubungan seksual di hadapan orang, membiarkan diri yang sedang melakukan hubungan seksual atau adegan seksual untuk diambil gambarnya, melakukan pengambilan gambar hubungan seksual atau adegan seksual, melihat hubungan seksual atau adegan seksual adalah haram.

11.  Memperbanyak, mengedarkan, menjual, membeli dan melihat atau memperlihatkan gambar, baik cetak atau visual, orang yang terbuka auratnya, perempuan berpakaian ketat sebagaimana dimaksud angka 4, atau gambar hubungan seksual atau adegan seksual adalah haram.

12.  Membantu dan/atau membiarkan tanpa pengingkaran perbuatan-perbuatan yang diharamkan di atas adalah haram.

13.  Memperoleh uang, manfaat, dan/atau fasilitas dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di atas adalah haram.

Wallahu A'lam Bisshowab
M. Saiyid Mahadhir

------------------------------------------------------------------------------------
 [1] al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz 2, hal. 407
 [2] ar-Rozi, Mafatih al-Ghoib, Juz 5, hal. 315
 [3] ar-Rozi, Mafatih al-Ghoib, Juz 5, hal. 315
 [4] al-Ashfahani, al-Mufrodat, hal. 595
 [5] As-Syaukani, Fath al-Qodr, Juz 4, hal. 29
 [6] az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 18, hal. 210
[7] az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 18, hal. 210
[8] az-Zuhali, Tafsir al-Munir, Juz 18, hal. 216
[9] Di lain pihak Imam Abu Hanifah, seperti yang dinukil oleh Wahbah Zuhaili di dalam tafsirnya menambahkan bahwa tepak kaki bagian dari anggota badan perempuan yang boleh tampak, karena menurut beliau menutupinya seakan menjadi hal yang susah untuk dilakukan terkhusus untuk penduduk desa dengan segala aktivatanya. ( Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 18, hal. 217-218)
[10] az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 22, hal. 10. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qr’an al-‘Azhim, Juz 6, hal. 410.
[11] an-Nasfi, Abu al-Barokat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud Hafizh ad-Din, Tafsir an-Nasfi, (Beirut: Dar al-Kalam at-Thoyyib, 1998 M/ 1419 H), Cet. I, Juz 3, hal. 30
[12] Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini Dilema Generasai Extravaganza, (Jakarta: Mujtahid, 2002), hal. 28-29
[13] az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 22, hal. 9
[14] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 6, hal. 410.
[15] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 5, hal. 73. Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 15, hal. 69
[16]  Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor U-287 Tahun 200, http://id.wikisource.org.  Diakses pada: 9 Juli 2012. Pukul: 12:37

Share this article :
 

+ komentar + 1 komentar

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Saiyid Mahadhir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger